PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Pendidikan Multikultural

Pendidikan Multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan dan mewadahi beragam prespektif dari berbagai kelompok kultural. Para pendukungnya percaya bahwa anak-anak kulit berwarna harus diberdayakan dan pendidikan multikultural akan bermanfaat bagi semua murid. Tujuan penting dari pendidikan multikultural adalah pemerataan kesempatan bagi semua murid. Ini termasuk mempersempit gap dalam prestasi akademik antara murid kelompok utama dengan murid kelompok minoritas (Bennett, 2003; Pang, 2001; Schmidt & Mosenthal, 2001).

Pendidikan multikultural muncul dari gerakan hak-hak sipil pada 1960-an dan gerakan untuk pemerataan kesetaraan dan keadilan sosial dalam masyarakat untuk wanita serta orang kulit berwarna. Sebagai sebuah bidang, pendidikan multikultural mencakup isu-isu yang berkaitan dengan status sosioekonomi, etnisitas, dan gender. Karena keadilan sosial adalah salah satu nilai dasar dari bidang ini, maka reduksi prasangka dan pedagogi ekuitas menjadi komponen utamanya (Banks, 2001). Reduksi prasangka adalah aktivitas yang dapat diimplementasikan guru di kelas untuk mengeliminasi pandangan negatif dan stereotip terhadap orang lai. Pedagogi ekuitas adalah modifikasi proses pengajaran dengan memasukkan materi dan strategi pembelajaran yang tepat baik itu untuk anak lai-laki maupun perempuan dan untuk semua kelompok etnis.

Memberdayakan Murid

            Istilah pemberdayaan (empowerment) berarti memberi orang kemampuan intelektual dan keterampilan memecahkan masalah agar berhasil dan menciptakan dunia yang lebih adil. Pada tahun 1960-an sampai 1980-an, pendidikan multikultural dititikberatkan pada usaha memberdayakan murid dan memperbaiki representasi kelompok minoritas dan kultural dalam kurikulum dan buku ajar.

            Sonia Nieto (1992), seorang keturunan Puerto Rico yang besar di New York City, percaya bahwa pendidikannya membuatnya merasa latar belakang kulturalnya kelihatan agak buruk. Dia memberikan rekomendasi sebagai berikut :
·         Kurikulum sekolah harus jelas antirasis dan antidiskriminasi. Murid harus bebas mendiskusikan isu etnis dan diskriminasi.
·         Pendidikan multikultural harus menjadi bagian dari setiap pendidikan murid. Semua murid harus menjadi bilingual dan mempelajari prespektif kultural yang berbeda-beda. Pendidikan multikultural harus direfleksikan di mana saja, termasuk di majalah dinding sekolah, ruang makan siang, dan pertemuan-pertemuan.
·         Murid harus dilatih untuk lebih sadar budaya (kultur). Ini berarti mengajak murid untuk lebih terampil dalam menganalisis kultur dan lebih menyadari faktor historis, sosial, dan politik yang membentuk pandangan mereka tentang kultur dan etnis. Harapannya adalah agar kajian kritis itu akan memotivasi murid untuk mengupayakan keadilan politik dan ekonomi.

Pengajaran yang Relevan Secara Kultural

Pengajaran yang relevan secara kultural adalah aspek penting dari pendidikan multikultural (Gay, 2000; Irvine & Armento, 2001). Pengajaran ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan dengan latar belakang kultural dari pelajar (Pang, 2001). Pakar pendidikan multikultural percaya bahwa guru yang baik akan mengetahui dan mengintegrasikan pengajaran yang relevan secara kultural ke dalam kurikulum karena akan membuat pengajaran menjadi lebih efektif (Diaz, 2001). Beberapa peneliti menemukan bahwa murid dari kelompok yang sam berperilaku dengan cara yang membuat beberapa tugas pendidikan menjadi sulit. Misalnya, Jackie Irvine (1990) dan Jane Hale-Benson (1982) mengamati bahwa murid Afrika-Amerika sering lebih ekspresif dan semangatnya besar. Ketika murid berperilaku seperti itu, mereka menyarankan agar murid itu diberi kesempatan untuk memberi presentasi ketimbang menyuruh mereka mengerjakan ujian tertulis. Peneliti lain menemukan bahwa murid Asia-Amerika lebih menyukai pembelajran visual ketimbang anak Eropa-Amerika (Litton, 1999; Park, 1997). Jadi, untuk murid seperti ini, guru bisa menggunakan model tiga dimensional, grafik, foto, diagram, dan tulisan di papan tulis.

Meningkatkan Hubungan di Antara Anak dari Kelompok Etnis yang Berbeda-beda

Ada sejumlah strategi dan program untuk meningkatkan hubungan antar-anak dari kelompok etnis yang berbeda-beda.

Kelas Jigsaw. Ketika psikolog sosial Eliot Aronson masih menjadi profesor di University of Texas di Austin, sistem sekolah mengontaknya untuk mencari ide guna mengurangi peningkatan ketegangan rasial di kelas. Aronson (1986) mengembangkan konsep Kelas Jigsaw. Di kelas ini murid dari berbagai latar belakang kultural yang berbeda diminta bekerjasama untuk mengerjakan beberapa bagian yang berbeda dari suatu tugas untuk meraih tujuan yang sama. Aronson memakai istilah jigsaw karena dia menganggap teknik ini sama seperti menyuruh sekelompok anak untuk bekerjasama menempatkan kepingan yang berbeda untuk melengkapi teka-teki permainan jigsaw.

Kontak Personal dengan Orang Lain dari Latar Belakang Kultural yang Berbeda. Misalnya, memasukkan anak minoritas ke bis sekolah yang didominasi Kulit Putih, atau sebaliknya, tidak selalu bisa mengurangi prasangka atau memperbaiki hubungan antar-etnis (Minuchin & Shapiro, 1983). Yang penting disini adalah apa yang terjadi setelah anak tiba di sekolah. Sebuah studi komprehensif terhadap lebih dari 5000 anak grade lima dan 4000 anak grade sepuluh mengungkapkan bahwa proyek kurikulum multietnis yang difokuskan pada isu etnis, kelopok kerja campuran, serta guru dan staf sekolah pendukung, telah membantu memperbaiki hubungan  antar-etnis dikalangan murid (Forehand, Ragosta, & Rock, 1976).

Pengambilan Prespektif. Latihan dan aktivitas yang mambantu murid melihat prespektif orang lain dapat meningkatkan relasi antar-etnis. Dalam satu latihan, murid-murid belajar berperilaku tertentu yang tepat dari dua kelompok kultural yang berbeda (Shirts, 1997). Kemudian kedua kelompok itu berinteraksi satu sama lain sesuai dengan perilaku tersebut. Hasilnya, mereka merasakan kegelisahan sekaligus pemahaman. Latihan ini di desain untuk membantu murid memahamigegar budaya yang muncul sebagai akibat dari berada di setting kultural dimana orang berperilaku dengan cara yang berbeda dengan yang biasa dilakukan murid. Murid juga diajak untuk menulis cerita atau memainkan drama yang berisi prasangka atau diskriminasi. Dengan cara ini, murid “masuk ke dunia” murid lain yang secara kultural beerbeda dengan dirinya dan memahami seperti apa rasanya diperlakukan secara tidak adil (Cushner, McClelland, & Safford, 1996).

Pemikiran kritis dan inteligensi emosional. Murid yang belajar berpikir secara mendalam dan kritis tentang relasi antar-etnis kemungkinan akan berkurang prasangkanya dan tak lagi menstereotipkan orang lain. murid yang beroikir dangkal sering kali lebih banyak berprasangka. Akan tetapi jika murid belajar mengajukan pertanyaan, memikirkan dahulu isunya ketimbang jawabannya, dan menunda dahulu penilaian sampai informasi yang lengkap sudah tersedia, maka prasangkanya akan berkurang.

Inteligensi emosional bermanfaat bagi hubungan antar-etnis. Kecerdasan emosional berarti punya kesadaran diri tentang emosi, mengelola emosi, membaca emosi, dan menangani hubungan.

Mengurangi Bias. Louise Derman-Sparks dan Anti-Bias Curriculum Task Force (1989) menciptakan sejumlah alat untuk membantu anak mengurangi, mengelola, atau bahkan mengeliminasi bias. Berikut ini beberapa strategi antibias yang direkomendasikan untuk guru :
·         Ciptakan lingkungan kelas antibias dengan memasang gambar anak dari berbagai latar belakang etnis dan kultural. Buku yang anda pilih untuk murid juga harus merefleksikan diversitas ini.
·         Pilih materi drama, seni, dan aktivitas yang memperkaya pemahaman etnis dan kultural. Gunakan drama untuk mengilustrasikan peran nonstereotip dan keluarga dari latar belakang yang berbeda-beda.
·         Gunakan boneka “Persona” untuk anak kecil. Enam belas boneka mewakili kultural dan latar belakang etnis yang berbeda-beda. Masing-masing boneka mempunyai kisah hidup yang di desain untuk mengurangi bias.
·         Bantu murid menolak stereotip dan diskriminasi. Buat aturan tegas yang tidak memperbolehkan olok-olok atau pengucilan terhadap setiap aspek identitas individu.
·         Ikutlah dalam aktivitas peningkatan kesadaran untuk memehami pandangan kultural anda sendiri secara lebih baik dan untuk menangani stereotip atau bias yang mungkin anda miliki.
·         Bangun dialog guru/orang tua yang yang membuka diskusi tentang masing-masing pandangan; lakukan tukar menukar informasi tentang bagaimana anak mengembangkan prasangka; dan beri tahu orang tua tentang kurikulum antibias.

Meningkatkan Toleransi. Teaching Tolerance Project menyediakan sumber daya materi kepada sekolah untuk meningkatkan pemahaman antarkultur dan hubungan natara anak kulit putih dengan kulit berwarna (Heller & Hawkins, 1994). Majalah dua tahunan Teaching Tolerance didistribusikan ke setiap sekolah negeri dan swasta di AS.


Sekolah dan Komunitas Sebagai Satu Tim. Psikiater dari Yale, James Corner (1998); Corner, dkk, 1996) percaya bahwa tim komunitas merupakan cara terbaik untuk mendidik anak. Ada tiga aspek penting dari Corner Project, yakni : (1) pemerintah dan tim manajemen yang mengembangkan rencana sekolah yang komprehensif, penilaian strategi, dan program pengembangan staf; (2) tim pendukung sekolah dan kesehatan mental; dan (3) program orang tua (Goldberg,1997). Program Corner menekankan pendekatan non-fault (yakni fokus pada pemecahan masalah, bukan saling menyalahkan), tidak ada keputusan selain melalui konsensus dan tidak ada “paralysis”(yakni, tidak ada suara tidak setuju yang tidak bisa menghadang keputusan mayoritas). Corner peraya bahwa seluruh komunitas sekolah harus kooperatif, bukan bersikap bermusuhan. Program Corner belakangan ini di jalankan di lebih dari 600 sekolah di 82 sitrik di 26 negara bagian. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAPORAN OBSERVASI "MANAJEMEN KELAS DI SDN 067690"

ANDRAGOGI DAN PEDAGOGI

Cara mudah membuat Daftar Isi dengan Table of Content