MOTIVASI

Mengeksplorasi Motivasi

Motivasi adalah proses memberi semangat, arah, kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama.
Prespektif Tentang Motivasi

Prespektif Behavioral. Prespektif behaviral menekankan imbalan dan hukuman eksternal sebagai kunci dalam menentukan motivasi murid. Insentif adalah peristiwa atau stimuli positif atau negatif yang dapat memotivasi perilaku murid. Pendukung penggunaan insentif menekankan bahwa insentif dapat menambah minat atau kesenangan pada pelajaran, dan mengarahkan perhatian pada perilaku yang tepat dan menjauhkan mereka dari perilaku yang tidak tepat (Emmer dkk., 2000).

Prespektif Humanistik. Prespektif humanistik menekankan pada kapasitas murid untuk mengembangkan kepribadian, kebebasan untuk memilih nasib mereka, dan kekuatan positif (seperti peka terhadap orang lain). prespektif ini berkaitan erat dengan pandangan Abraham Maslow bahwa kebutuhan dasar tertentu harus dipuaskan dahulu sebelum memuaskan kebutuhan yang lebih tinggi. Menurut Hierarki Kebutuhan Maslow, kebutuhan individual harus dipuaskan dalam urutan sebagai berikut :
·         Fisiologis : lapar, haus, dan tidur.
·         Keamanan (safety) : bertahan hidup, seperti perlindungan dari perang dan kejahatan.
·         Cinta dan rasa memiliki : keamanan (security), kasih sayang, dan perhatian dari orang lain.
·         Harga diri : menghargai orang lain.
·         Aktualisasi diri : realisasi potensi diri.

Menurut maslow, misalnya murid harus memuaskan kebutuhan makan sebelum mereka dapat berprestasi.

Prespektif kognitif. Menurut prespektif kognitif, pemikiran murid akan memandu motivasi mereka. Belakangan inimuncul minat besar terhadap motivasi menurut prespektif kognitif (Pintrich & Schunk, 2002). Minat ini berfokus pada ide-ide seperti motivasi internal murid untuk mencapai sesuatu, atribusi mereka (persepsi tentang sebab-sebab kesuksesan dan kegagalan, terutama persepsi bahwa usaha adalah faktor penting dalam prestasi), dan keyakinan mereka bahwa mereka dapat mengontrol lingkungan mereka secara efektif. Prespektif kognitif juga menekankan arti penting dari penentuan tujuan, prencanaan dan monitoring kemajuan menuju suatu tujuan (Schunk & Ertmer, 2000; Zimmerman & Schunk, 2001).

Prespektif koginitif tentang motivasi sesuai gagasan R.W. White (1959), yang mengusulkan konsep motivasi kompetensi, yakni ide bahwa orang termotivasi untuk menghadapi lingkungan mereka secara efektif, menguasai dunia mereka, dan memproses informasi secara efisien. White mengatakan bahwa orang melakukan hal-hal tersebut bukan karena kebutuhan biologis, tetapi karena orang punya motivasi internal untuk berinteraksi dengan lingkungan secara efektif.

Prespektif sosial. Kebutuhan afiliasi atau keterhubungan adalah motif untuk berhubungan dengan orang lain secara aman. Ini membutuhkan pemebentukkan, pemeliharaan, dan pemulihan hubungan personal yang hangat dan akrab. Kebutuhan afiliasi murid tercermin dalam motivasi mereka untuk menghabiskan waktu bersama teman, kawan dekat, keterikatan mereka dengan orang tua, dan keinginan untuk menjalin hubungan positif dengan guru.

Dalam sebuah studi berskala luas, salah satu faktor terpenting dalam motivasi dan prsetasi murid adalah persepsi mereka mengenai apakah hubugan mereka dengan guru bersifat positif atau tidak (McCombs, 2001; McCombs & Quiat, 2001). Dalam studi lain, nilai matematika meningkat dikalangan murid sekolah menengah apabila mereka punya guru yang yang mereka anggap sangat suportif (Eccles, 1993).

Motivasi Meraih Sesuatu

Motivasi Ekstrinsik Dan Intrinsik

Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (cara untuk mencapai tujuan). Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Misalnya, murid mungkin belajar keras menghadapi ujian untuk mendapatkan nilai yang baik.

Prespektif  behavioral menekankan arti penting dari motivasi ekstrinsik dalam prestasi ini, sedangkan pendekatan humanistik dan kognitif lebih menekankan pada arti penting dari motivasi Intrinsik dalam prestasi. Motivasi Intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). Misalnya, murid mungkin belajar menghadapi ujian karena dia senang dengan mata pelajaran yang diujinkan tersebut. Ada dua jenis motivasi intrinsik, yaitu : (1) motivasi intrinsik dari determinasi diri dan pilihan personal, dan (2) motivasi intrinsik dari pengalaman optimal.

Determinasi diri dan pilihan personal. Dalam pandangan ini, murid ingin percaya bahwa mereka melakukan sesuatu karena keinginannya sendiri, bukan karena kesuksesan atau imbalan eksternal. Para periset menemukan bahwa motivasi internal dan minat intrinsik dalam tugas sekolah naik apabila murid punya pilihan dan peluang untuk mengambil tanggung jawab personal atas pembelajaran mereka (Grolnick dkk., 2002; Stipek, 1996, 200). Misalnya dalam sebuah studi, murid sains di SMA yang diajak untuk mengorganisir sendiri eksperimen mereka akan lebih perhatian dan berminat terhadap praktik laboratorium ketimbang murid ang diharuskan mengikuti instruksi dan aturan yang ketat (Rainey, 1965).

Pengalaman optimal. Mihaly Csikszentmihalyi (1990, 1993, 2000; Nakamura & Csikszentmihalyi, 2002) juga mengembangkan ide yang relevan untuk memahami motivasi intrinsik. Dia mempelajari pengalaman optimal dari orang-orang selama lebih dari dua dekade. Orang melaporkan bahwa penglaman optimal ini berupa persaan senang dan bahagia yang besar. Csikszentmihalyi menggunakan istilah flow untuk mendeskripsikan pengalaman optimal dalam hidup. Dia menemukan bahwa pengalaman optimal itu kebanyakan terjadi ketika orang merasa mampu menguasai dan berkonsentrasi penuh saat melakukan aktivitas. Dia mengatakan bahwa pengalaman optimal ini terjadi ketika individu terlibat dalam tantangan yang mereka anggap tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu mudah.
             
Imbalan Ekstrinsik dan Motivasi Intrinsik. Dua kegunaan hadiah adalah (Bandura, 1982; Deci, 1975) : (1) sebagai insentif agar mau mengerjakan tugas, dimana tujuannya adalah mengontrol perilaku murid, dan (2)  mengandung informasi tentang penguasaan keahlian. Poin penting disini adalah bahwa bukan imbalan itu sendiri yang menyebabkan efek, tetapi tawaran atau ekspektasi atas imbalan itulah yang memberikan efek (Schunk, 2001). Imbalan yang yang digunakan sebagai insentif menimbulkan persepsi bahwa perilaku murid disebabkan oleh imbalan eksternal, bukan oleh motivasi dalam diri murid untuk menjadi pandai.      

Hadiah yang mengandung informasi tentang kemampuan murid dapat meningkatkan motivasi intrinsik dengan cara meningkatkan perasaan bahwa diri mereka kompeten. Namun, umpan balik negatif, seperti kritik, yang mengandung informasi bahwa murid tidak pandai, dapat melemahkan motivasi intrinsik terutama apabila murid meragukan kemampuan mereka untuk menjadi kompeten (Stipek, 2002).

Pergeseran developmental dalam motivasi ekstrinsik dan intrinsik. Dalam sebuah studi riset, penurunan motivasi  intrinsik terbesar dan peningkatan motivasi ekstrinsik terbesar terjadi diantara grade enam dan tujuh (Harter, 1996). Dalam studi lain, saat murid naik dari grade enam sampai delapan, makin banyak murid yang mengatakan bahwa sekolah itu membosankan dan tidak relevan (Harter, 1996). Akan tetapi dalam studi ini, murid yang termotivasi secara intrinsikberprestasi jauh lebih baik ketimbang mereka yang termotivasi secara ekstrinsik.

Mengapa pergeseran ke arah motivasi ekstrinsik ini terjadi saat murid naik ke kelas yang lebih tinggi ? Salah satu penjelasannya adalah karena praktik kenaikan kelas memperkuat orientasi motivasi eksternal. Artinya, saat murid bertambah usia, mereka terkungkung dalam penekanan pada tujuan naik kelas dan karenanya motivasi internalnya turun.

Eccles dan rekan-rekannya (1993) mengajukan konsep person-environmental fit (kesesuaian orang-lingkungan). Mereka berpendapat bahwa kurangnya kesesuaian antara lingkungan SMP/SMA dan kebutuhan remaja muda menyebabkan evaluasi diri negatid dan sikap negatif terhadap sekolah. Studi mereka terhadap lebih dari 1500 murid menemukan bhwa guru menjadi lebih sering mengontrol saat remaja sedang berusaha mencari otonomi yang lebih besar, dan hubungan guru-murid menjadi lebih impersonal pada saat murid mencari kemandirian dari orang tua dan butuh lebih banyak dukungan dari orang dewasa lain. pada saat remaja semakin sadar diri, penekanan pada nilai dan perbandingan kompetitif lainnya malah memperburuk keadaan.


Walaupun belum banyak riset tentang masa transisi ke SMA, riset yang sudah ada menunjukkan bahwa, seperti transisi ke SMP, transisi ini bisa menimbulkan problem yang serupa (Eccles, Wigfield, & Schiefele, 1998; Wehlage, 1989). SMA sering kali lebih besar dan lebih birokratis ketimbang SMP. Di sekolah semacam ini, sense of community-nya biasanya melemah, dimana murid dan guru tidak banyak kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain secara lebih dekat (Bryk, Lee, & Smith, 1989). Akibatnya, ketidakpercayaan antara guru dan murid mudah timbul dan hanya ada sedikit komunikasi mengenai tujuan murid. Konteks semacam ini dapat melemahkan motivasi murid yang tidak bagus secara akademik. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAPORAN OBSERVASI "MANAJEMEN KELAS DI SDN 067690"

Mengenal Lebih Dekat Sigmund Freud

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)